Senin, 01 April 2013

ANALISIS STRUKTURALISME DAN FUNGSI CERITA RAKYAT LELA BUJANG MALAKA KABUPATEN SANGGAU


TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH SASTRA DAERAH
ANALISIS STRUKTURALISME DAN FUNGSI CERITA RAKYAT LELA BUJANG MALAKA KABUPATEN SANGGAU

Dosen Pengampu: Dr. A. Totok Priyadi, M.Pd.



Disusun oleh:

AULIA MELANI              (F11110023)
BERNADETA                   (F11110045)
GRACIA GANESHA       (F11110003)
LIDIA WATI                     (F11110049)
                                               
                                                                                

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar  Belakang
Sejak zaman dahulu kebudayaan bertutur atau bercerita telah berkembang di Indonesia. Kebudayaan bertutur atau bercerita itu masih dilestarikan sampai sekarang. Bertutur atau bercerita biasanya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya sebagai pengantar tidur. Cerita yang disampaikan bermacam-macam jenisnya, di antaranya dongeng, mite atau mitos, legenda, dan sebagainya. Berbagai bentuk cerita  tersebut populer dinamakan dengan cerita rakyat.
Cerita rakyat merupakan  sastra daerah yang berkembang di masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Disebut cerita rakyat karena cerita tersebut memang bersumber dari rakyat dan berkembang di masyarakat. Cerita rakyat disajikan dalam bentuk lisan atau dari mulut ke mulut. Cerita rakyat disampaikan secara turun-temurun, bisa secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, cerita rakyat disampaikan dari garis keluarga yang paling atas kemudian menurun ke bawah sesuai tingkatannya, misalnya dari nenek kepada ibu kemudian ibu menceritakan lagi kepada anaknya. Adapun secara vertikal, cerita rakyat disampaikan tidak menurut garis keturunan, bisa saja dari teman ke teman atau dari tetua adat kepada masyarakatnya. 
Penelitian terhadap cerita rakyat sangat penting dilakukan terutama untuk melestarikan cerita rakyat tersebut. Sangat ironis karena banyak anak muda sekarang yang tidak peduli lagi dengan kebudayaan bangsanya berupa cerita rakyat. Padahal, jika dianalisis lebih lanjut cerita rakyat memiliki keunikan tersendiri dan merupakan sarana untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Selain itu, dengan melakukan penelitian serta analisis terhadap cerita rakyat, kita dapat mengetahui struktur serta fungsi dari cerita rakyat tersebut. Bahan yang kami jadikan analisis yaitu cerita rakyat Lela Bujang Malaka.



B.            Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut.
1.             Bagaimana analisis strukturalisme terhadap cerita rakyat Lela Bujang Malaka?
2.             Bagaimana analisis fungsi cerita rakyat Lela Bujang Malaka?

C.           Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini sebagai berikut.
1.             Pendeskripsian analisis strukturalisme terhadap cerita rakyat Lela Bujang Malaka.
2.             Pendeskripsian analisis fungsi cerita rakyat Lela Bujang Malaka.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Analisis Strukturalisme terhadap Cerita Rakyat Lela Bujang Malaka
Cerita rakyat Lela Bujang Malaka merupakan satu di antara cerita rakyat yang populer di kabupaten Sanggau. Cerita ini dapat dikategorikan sebagai legenda karena sampai sekarang bukti-bukti mengenai cerita ini dapat dirasakan dan dilihat. Akan tetapi, hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat Lela Bujang Malaka karena bersifat gaib. Cerita ini berkembang ketika kerajaan Sanggau baru berdiri. Sampai sekarang cerita ini tetap dilestarikan secara turun-temurun.
Cerita Lela Bujang Malaka menceritakan kisah sebuah senjata berbentuk meriam kecil yang diberi nama Lela Bujang Malaka oleh masyarakat Sanggau. Senjata ini berasal dari kerajaan Malaka. Pada saat itu terjadi konflik antara dua bersaudara yang memperebutkan sebuah kerajaan. Sang raja, ayah kedua bersaudara itu, ingin membagi rata kerajaannya kepada kedua anaknya. Akan tetapi, si kakak tidak setuju karena ingin memiliki kerajaan itu sendiri. Akhirnya, si kakak memerangi adiknya sehingga banyak pengikut adiknya yang tewas. Si adik ternyata memiliki budi bahasa yang baik dan disenangi oleh rakyat di kerajaan Malaka tersebut. Demi keselamatan dirinya dan para pengikutnya, akhirnya rombongan si adik melarikan diri dengan menggunakan kapal layar. Rombongan tersebut pada akhirnya singgah di Sanggau (pada saat itu Sanggau masih berupa hutan) dan menetap di pedalaman Sungai Sekayam. Tidak lama kemudian kerajaan Sanggau pun berdiri di tanah Mengkiang. Rombongan dari kerajaan Malaka kemudian menyerahkan semua senjata yang mereka bawa termasuk Lela Bujang Malaka kepada kerajaan Sanggau. Tidak lama setelah kerajaan Sanggau berdiri, terdapatlah informasi bahwa kerajaan Pontianak akan menyerang kerajaan Sanggau. Untuk mengantisipasi hal tersebut, raja Sanggau beserta para hulubalang dan senopati mengumumkan kepada rakyat Sanggau untuk membuat benteng di daerah Pancur Aji. Maka digunakanlah meriam kecil yang diberi nama Lela Bujang Malaka untuk membuat benteng. Lela Bujang Malaka ditanam di Pancur Aji tetapi tidak menggunakan peluru sehingga hanya bunyinya saja yang menggelegar menakutkan. Selain itu, seutas rantai juga direntangkan di dalam air antara Pancur Aji dan Tanjung Kerosik. Tujuannya, jika perahu musuh lewat maka rantai akan ditarik sehingga perahu musuh akan terbalik. Setelah benteng siap dibangun maka ditunggulah kedatangan musuh dari Pontianak. Cukup lama menunggu ternyata tidak ada musuh yang datang menyerang. Hal itu terjadi karena pada masa dahulu komunikasi sangat kurang sehingga informasi yang diperoleh pun kurang. Karena tidak terjadi peperangan akhirnya rakyat Sanggau membuat suatu peranguh(istilah/pepatah) dalam bentuk pantun yang berbunyi.
Ensait tumuh begolik
Tumuh begolik di belakang kuta
Bujang Syarif mudik bebalik
Takut ke Lela Bujang Malaka

Berdasarkan pendekatan strukturalisme, yang dianalisis dari cerita rakyat tersebut adalah struktur/isi atau unsur-unsur  yang terdapat cerita rakyat tersebut. Sebagaimana pendapat Teeuw (dalam Wuradji, dkk, 2001:54) strukturalisme adalah cara berpikir atau paham mengenai unsur-unsur yaitu unsur itu sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, hubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, dan hubungan antar unsur dengan totalitasnya yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Ketika menganalisis karya sastra peneliti harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan strukturalisme merupakan sebuah pendekatan yang menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur intrinsik atau unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam yang meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur atau plot, latar, dan sudut pandang.
Berdasarkan pendekatan strukturalisme, tema yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah harga diri. Tema cerita ini tercermin pada usaha penyelamatan diri oleh si adik beserta para pengikutnya agar terhindar dari kezaliman si kakak. Penyelamatan diri yang dilakukan oleh si adik  beserta para pengikutnya merupakan usaha untuk mempertahankan harga diri agar tidak dizalimi oleh si kakak. Selain itu, tema cerita ini juga tercermin melalui usaha yang dilakukan oleh raja Sanggau beserta rakyat Sanggau untuk mempertahankan kerajaan Sanggau dari serangan kerajaan Pontianak. Usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kerajaan Sanggau yakni dengan cara mendirikan benteng di daerah Pancur Aji. Benteng tersebut diperkuat oleh Lela Bujang Malaka dan seutas rantai. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh raja Sanggau beserta rakyatnya merupakan suatu usaha untuk mempertahankan harga diri kerajaan Sanggau agar tidak diremehkan, direndahkan, dan dengan mudah diserang oleh kerajaan Pontianak. Raja Sanggau beserta rakyat Sanggau tidak mau harga dirinya dipandang rendah oleh kerajaan Pontianak. Oleh sebab itu, sebisa mungkin mereka membangun benteng yang kuat untuk menunjukkan pada kerajaan Pontianak bahwa kerajaan Sanggau tidak lemah dan mudah diperdaya.
Adapun tokoh yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu sang raja Malaka, kedua anak raja Malaka (si kakak dan si adik), para pengikut si adik, raja Sanggau, senopati dan hulubalang kerajaan Sanggau, serta rakyat Sanggau. Berdasarkan penokohan atau watak, dapat disimpulkan bahwa tokoh raja Malaka, si adik, raja Sanggau beserta hulubalang, senopati dan rakyat Sanggau merupakan tokoh yang berwatak protagonis atau baik. Sementara si kakak yang telah memerangi adiknya sendiri demi kekuasaan merupakan tokoh berwatak antagonis atau jahat.
Alur atau plot yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah alur maju atau progresif. Hal itu dapat dilihat pada runtutan cerita yang diceritakan, mulai dari awal sampai akhir merupakan suatu peristiwa yang bersifat kronologis. Pertama-tama diceritakan tentang konflik di kerajaan Malaka yang akhirnya membawa rombongan si adik menuju tanah Sanggau hingga kerajaan Sanggau berdiri. Kemudian, kerajaan Sanggau membangun benteng di daerah Pancur Aji untuk mempertahankan diri jika diserang oleh kerajaan Pontianak. Peristiwa yang dilukiskan dalam cerita tersebut merupakan peristiwa yang berlangsung secara runtut dan sistematis.
Adapun latar tempat yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu kerajaan Malaka (di negeri Malaka), Batu Ampar (Pontianak), sungai Kubu dan sungai Kapuas, Pulau Jambo (Labai Lawai/Tayan), kerajaan Sanggau (di negeri Sanggau), sungai Sekayam, tanah Mengkiang, Pancur Aji, dan Tanjung Kerosik. Adapun latar suasana yang dilukiskan dalam cerita tersebut, yaitu sedih, marah, ketakutan, mengerikan, cemas, ketegasan, kelegaan, dan kegembiraan. Suasana sedih, amarah, ketakutan, dan mengerikan, dilukiskan ketika si kakak diliputi kemarahan ingin memerangi si adik untuk mendapatkan semua kerajaan. Si kakak dengan teganya memerangi adiknya sendiri hingga banyak orang yang tewas akibat ulah si kakak. Suasana seperti itu juga terlukis ketika si adik beserta para pengikutnya melarikan diri dan akhirnya menetap di Sanggau. Adapun suasana cemas, ketegasan, kelegaan, dan kegembiraan dilukiskan ketika terdapat informasi bahwa kerajaan Pontianak akan menyerang kerajaan Sanggau hingga terbukti kerajaan Pontianak tidak berniat untuk menyerang kerajaan Sanggau. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya komunikasi dan informasi. Dalam cerita Lela Bujang Malaka ini tidak diceritakan oleh narasumber latar waktu semua peristiwa yang terjadi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat latar waktu dalam cerita Lela Bujang Malaka.
Adapun sudut pandang yang digunakan dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah sudut pandang orang ketiga.  Sudut pandang ini dilihat dari penceritaan sastra itu sendiri. Dalam cerita rakyat ini pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga).

B.            Analisis Fungsi Cerita Rakyat Lela Bujang Malaka
Analisis fungsi merupakan suatu analisis untuk mengetahui fungsi atau manfaat dari karya sastra. Berdasarkan analisis fungsi, dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat Lela Bujang Malaka memiliki beberapa fungsi di antaranya.
1.             Sebagai Pengantar Tidur
Umumnya suatu cerita atau dongeng yang disajikan secara lisan berfungsi sebagai pengantar tidur bagi yang didongengkan. Begitu juga dengan cerita Lela Bujang Malaka. Orang tua sering mendongengkan cerita Lela Bujang Malaka kepada anaknya ketika menjelang tidur agar si anak tertidur pulas. Selain itu,  zaman dahulu belum ada hiburan lain yang dapat berfungsi sebagai pengantar tidur si anak.

2.             Sebagai Hiburan
Cerita Lela Bujang Malaka juga berfungsi sebagai hiburan bagi yang mendengarkan. Cerita ini populer di kabupaten Sanggau ketika belum ada listrik dan alat-alat teknologi di sana. Jadi, sebagai penghibur dan mengisi waktu luang, orang tua sering mendongengkan cerita ini kepada anaknya.

3.             Sebagai Sarana Menanamkan Nilai-Nilai Kehidupan
Cerita merupakan sarana bagi orang tua untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan kepada anaknya. Selain anak merasa tertarik mendengarkan suatu cerita, anak juga mendapat pengetahuan berupa nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Setelah bercerita sebaiknya orang tua menjelaskan mana yang baik, yang patut ditiru dan mana hal-hal buruk yang tidak patut ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai tindak kenakalan dapat dikurangi dengan menanamkan perilaku dan sifat yang baik melalui contoh karakter ataupun sifat-sifat perilaku di dalam cerita. Selain itu, bertutur atau mendongeng memiliki efek yang lebih baik daripada mengatur anak dengan cara kekerasan (memukul, mencubit, menjewer, membentak, dan lain-lain. Adapun cerita Lela Bujang Malaka merupakan sarana bagi orang tua di kabupaten Sanggau untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti jangan serakah, tegas dalam memilih sikap, jangan takut menghadapi masalah, pertahankan harga diri, dan sebagainya.

4.             Sebagai Penghilang Rasa Jenuh dan Ketegangan
Rasa jenuh dan ketegangan ketika menjalani aktivitas sehari-hari dapat dihilangkan melalui kegiatan mendengarkan cerita. Terkadang anak merasa bosan dengan rutinitasnya sehari-hari jadi cerita dapat digunakan sebagai penghilang rasa bosan anak. Pada dasarnya, anak sangat senang mendengarkan cerita apalagi orang tuanya sendiri yang menceritakan. Demikian pula dengan cerita Lela Bujang Malaka juga berfungsi sebagai penghilang rasa jenuh atau bosan dan ketegangan.

5.             Sebagai Sarana untuk Mengetahui Peristiwa yang Terjadi di Masa Lampau
Cerita rakyat yang berbentuk legenda diyakini oleh masyarakat benar-benar terjadi karena terdapat bukti yang menguatkan cerita tersebut. Begitu juga dengan cerita Lela Bujang Malaka, yang merupakan sebuah legenda dan diyakini benar-benar terjadi di kabupaten Sanggau. Melalui cerita tersebut, masyarakat Sanggau saat ini dapat mengetahui peristiwa yang terjadi pada masa lampau bahwa zaman dahulu masyarakat Sanggau pernah membuat sebuah benteng di daerah Pancur Aji.

6.              Mengembangkan Daya Imajinasi
Cerita yang dilisankan atau cerita yang disampaikan secara lisan dapat membuat anak berimajinasi membayangkan bagaimana jalan cerita dan karakternya. Anak-anak akan terbiasa berimajinasi memvisualkan sesuatu di dalam pikirannya untuk menjabarkan atau menyelesaikan suatu permasalahan. Cerita Lela Bujang Malaka ini dapat membuat anak berimajinasi membayangkan suasana pada zaman dahulu di kabupaten Sanggau, seputar peristiwa serta tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut.

7.             Menambah Wawasan
Anak-anak yang terbiasa mendengar cerita dari orang tuanya (penutur) biasanya akan bertambah perbendaharaan kata, ungkapan, watak orang, sejarah, sifat baik, sifat buruk, teknik bercerita, dan lain sebagainya. Jadi, cerita Lela Bujang Malaka yang diceritakan kepada anak berfungsi untuk menambah wawasan anak berupa perbendaharaan kata, ungkapan, karakter orang, dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
1.             Berdasarkan pendekatan strukturalisme terhadap cerita rakyat kabupaten Sanggau Lela Bujang Malaka dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.    Tokoh yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu sang raja Malaka, kedua anak raja Malaka (si kakak dan si adik), para pengikut si adik, raja Sanggau, senopati dan hulubalang kerajaan Sanggau, serta rakyat Sanggau.
b.    Tokoh raja Malaka, si adik, raja Sanggau beserta hulubalang, senopati dan rakyat Sanggau merupakan tokoh yang berwatak protagonis atau baik. Sementara si kakak memiliki watak antagonis atau jahat.
c.    Alur atau plot yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah alur maju atau progresif.
d.   Latar tempat yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu kerajaan Malaka (di negeri Malaka), Batu Ampar (Pontianak), sungai Kubu dan sungai Kapuas, Pulau Jambo (Labai Lawai/Tayan), kerajaan Sanggau (di negeri Sanggau), sungai Sekayam, tanah Mengkiang, Pancur Aji, dan Tanjung Kerosik. Adapun latar suasana yang dilukiskan dalam cerita tersebut, yaitu sedih, marah, ketakutan, mengerikan, cemas, ketegasan, kelegaan, dan kegembiraan. Sementara latar waktu dalam cerita Lela Bujang Malaka tidak ada.
e.    Sudut pandang yang digunakan dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah sudut pandang orang ketiga.
2.             Cerita rakyat kabupaten Sanggau Lela Bujang Malaka memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai berikut.
a.    Sebagai pengantar tidur
b.    Sebagai hiburan
c.    Sebagai sarana menanamkan nilai-nilai kehidupan
d.   Sebagai penghilang rasa jenuh
e.    Sebagai sarana untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di masa lampau
f.      Mengembangkan daya imajinasi
g.    Menambah wawasan

B.            Saran
Sebagai negara yang majemuk, Indonesia tentu saja memiliki beragam cerita rakyat yang berasal dari beragam daerah. Sebagai generasi muda, tugas kitalah yang melestarikan beragam cerita rakyat tersebut agar generasi selanjutnya bisa meneruskan langkah awal pelestarian sastra daerah yang telah dilakukan. Akan lebih baik apabila setiap orang mau berinisiatif mengumpulkan beragam cerita rakyat yang berasal dari daerahnya.

DAFTAR PUSTAKA

M.S, Wuradji, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.

Organisasi.Org Komunitas & Perpustakaan Online Indonesia. 2010. Kegunaan/Fungsi/Manfaat Dongeng Untuk Anak-Anak (Cerita Sebelum Tidur).(Online).(http://organisasi.org/kegunaan-fungsi-manfaat-dongeng-untuk-anak-anak-cerita sebelum-tidur).

 

Syam, Christanto. 2010. Pengantar ke Arah Studi Sastra Daerah. Pontianak: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura.

Z.F, Zulfahnur. Sayuti Kurnia dan Zuniar  Z. Adji. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III Tahun 1996/1997.



  





Sabtu, 10 Desember 2011

Pendekatan Hermeneutik

MATA KULIAH KAJIAN PROSA
PENDEKATAN HERMENEUTIK
Dosen Pengampu : Dra. Sesilia Seli, M.Pd.
DISUSUN OLEH :
AULIA MELANI                             F11110023
HANIZAR KUNTARTI                  F11108028
MEIZAR ANGGARA                     F11109049
NUR RAHMAWATI                       F11110005
NURUL WAHYUNI                         F11110015
SUGIYONO                                      F11110055
KELAS: III A
KELOMPOK VI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hermeneutika, baik sebagai ilmu maupun sebagai metode, memegang peranan yang sangat penting dalam filsafat. Dalam sastra, pembicaraannya terbatas sebagai metode. Di antara metode-metode yang lain, hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra. Hermeneutika dianggap sebagai metode ilmiah yang paling tua, sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles (Ratna, 2004:44-45).
Visi sastra modern menyebutkan bahwa dalam karya sastra terkandung ruang-ruang kosong, di tempat itulah pembaca memberikan berbagai penafsiran. Makin besar sebuah karya sastra, maka semakin banyak mengandung ruang-ruang kosong, sehingga semakin banyak investasi penafsiran yang dapat ditanamkan di dalamnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami mencoba mengidentifikasi masalah ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut.
a. Apa pengertian hermeneutik ?
b. Bagaimana cara kerja hermeneutik ?
c. Bagaimana hermeneutika dalam pandangan filosofi ?
d. Paparkan beberapa kaidah hermeneutika !
e. Sebutkan jenis-jenis hermeneutika !
f. Bagaimana hubungan antara hermeneutika dan interpretasi sastra ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Pendeskripsian pengertian hermeneutik.
b. Pendeskripsian cara kerja hermeneutik.
c. Pendeskripsian hermeneutika dalam pandangan filosofi.
d. Pendeskripsian beberapa kaidah hermeneutika.
e. Pendeskripsian jenis-jenis hermeneutika.
f. Pendeskripsian hubungan antara hermeneutika dan interpretasi sastra.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneutine dan  hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan dan “ penafsiran”.  Istilah  ini didapat dari sebuah risalah yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Tiga makna hermeneutis yang mendasar yaitu :
a).    Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian.
b).    Menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti.
c).    Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain.
Tiga  pengertian tersebut terangkum dalam pengertian ”menafsirkan”– interpreting, understanding. Attew (1984:123) mengatakan bahwa hermeneutik adalah keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Palmer mendefinisikan hermeneutik sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, sehingga yang menjadi tugas pokok hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik menjadi milik kita yang hidup di jaman dan tempat yang berbeda. Bagi  Friedrich August Wolf  hermeneutik merupakan kaidah-kaidah untuk menangkap pemikiran yang terdapat dalam teks yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang. Dalam hal ini, hermeneutik lebih dipandang sebagai kaidah interpretasi dialog dengan pengarang. Sedangkan Menurut Carl Braathen hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika merupakan metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke masa depan.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal  sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks dan kontekstualisasi.
Dengan demikian setidaknya terdapat tiga pemahaman mengenai hermeneutika, yakni :
1.      Sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran, dekat dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami.
2.      Sebagai sebuah metode penafsiran, tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks.
3.      Sebagai penafsiran fisafat.

2.2  Cara Kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.  Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.
Hukum Betti tentang interpretasi Sensus non est inferendus sed efferendus” makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir. Pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki.

2.2.1        Bahasa Sebagai Pusat Kajian
Karena objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praktis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat. Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian disusul bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur.


2.3  Hermeneutika dalam Pandangan Filosofi
2.3.1        Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher
Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan menganggap semua teks dapat menjadi objek kajian hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Makna bukan sekadar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkapkan sebuah realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan rapat-rapat. Schleiermacher menawarkan sebuah metode rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan, membahas dengan bahasa secara keseluruhan.
Tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri. Model hermeneutika Schleiermacher meliputi dua hal :
a.       Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang sehingga menggunakan pendekatan linguistik.
b.      Penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin pengarang.
Dengan demikian, terdapat makna autentik dari sebuah teks, sebuah teks tidak mungkin bertujuan  (telos).

2.3.2        Wilhelm Dilthey
Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, makna tidak pernah berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.
2.3.3        Martin Heidgger
Pemikiran filsafat Heidgger meliputi dua periode sebagai berikut :
a.       Periode 1 meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Manusia adalah satu-satunya makhluk  yang menanyakan tentang “ada”. Sebab, manusia pada hakikatnya ”ada” tetapi tidak begitu saja ada, melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.
b.      Periode 2 Menjelaskan pengertian ”kehre” yang berarti “pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian asli. Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena itu, manusia bukanlah penguasa atas apa yang  ”ada”  melainkan sebagai penjaga padanya.
Bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Bahas pada hakikatnya adalah ”bahasa hakikat”, artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respons dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka.  Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada fakta atau perbuatan. Bahasa adalah tempat tinggal  ”sang ada”.  Bahasa merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi semacam substansi dan pengalaman menjadi tak bermakna jika tidak menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang kosong tanpa kehidupan.
Pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa. Bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika, atau suatu gerakan.

2.3.4        Hans-Georg Gadamer
Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran hermeneutika– hermeneutic circle, bagian teks bisa dipahami lewat keseluruhan teks hanya bisa dipahami lewat bagian-bagiannya.
Setiap pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialetik dan peristiwa kabahasaan. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomologi pemahaman.

2.3.5        Jurgen Habermas
Hermeneutika bertujuan untuk memahami proses pemahaman– understanding the process of understanding. Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu. Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan. Bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.

2.3.6        Paul Ricoeur
Teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks ada tiga macam sebagai berikut :
a.       Intensi atau maksud pengarang.
b.      Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks.
c.       Untuk siapa teks dimaksud.
Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupun orang lain. Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai tujuannya jika ”dunia teks” dan ”dunia interpreter” telah berbaur menjadi satu.

2.3.7        Jacques Derrida
Dalam filsafat bahasa–dalam kaitan dengan hermeneutika, membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat arbitrer.  Bahasa menurut kodratnya adalah ”tulis”. Objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”. Segala sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada makna yang melebihi teks. Makna senantiasa tertentu dalam teks.
     
2.4  Beberapa Kaidah Hermeneutika
Beberapa kaidah hermeunitik yaitu sebagai berikut.
a.       Dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi.
b.      Setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari adanya akibat ikutan dari partisipasi dan latar belakang penafsir.
c.       Upaya penafsiran harus dilihat sebagai proses pendekatan–approximation kepada makna sejati.
d.      Walaupun ada wilayah perbedaan karena partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang mempertemukan antar penafsir, pamahaman bersama–shared understanding, mutual understanding yang melahirkan cross cutting affiiation.

2.5  Jenis-jenis Hermeneutika
     Lefevere memandang bahwa ada tiga varian hermeneutika yang pokok. Dari ketiga varian tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya, yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas berbagai tulisan hermeneutika. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan khusus turut membuat hermeneutika membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan substansi hermeneutika yang sesungguhnya sangat bernilai.
a.      Hermeneutika Tradisional
Refleksi kritis mengenai hermeneutika mula-mula dirintis oleh Friedrich Schleiermacher, kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Hermeneutika yang mereka kembangkan kemudian dikenal dengan "hermeneutika tradisional" atau "romantik". Mereka berpandangan, proses versetehen mental melalui suatu pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu (Lefevere). Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada "pemahaman pengalaman pengarang" atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada "ekspresi kehidupan batin" atau makna peristiwa-peristiwa sejarah. Apabila dicermati, keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif. Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes  yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.
Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis (geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena menurut Eagleton "dunia" karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek.
Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara pengamat dan penafsir (pembaca) tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian, teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan. Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang diungkapkan.
Kelemahan yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya "menghidupkan kembali" (mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya. Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra.
b.      Hermeneutika Dialektik
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa.
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampaknya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa "penjelasan" dan pemahaman" dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal ini dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan). Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48). Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan. Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut―yang tidak mempertentangkan "penjelasan" dengan "pemahaman"―sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting "penjelasan" dan "pemahaman" untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59).
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen  pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri.
c.     Hermeneutika Ontologis
Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagi metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.
Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan masalah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendati pun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih mementingkan "rekreasi". Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan "reproduktif".

2.6 Hermeneutika dan Interpretasi Sastra
Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama mengenai tiga varian hermeneutika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.
Selama ini, hermeneutika merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak dari interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere hermeneutika tidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia. Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutika mau diterapkan dalam sastra, mengingat objek studi sastra itu adalah karya estetik.
Dalam perkembangan teori-teori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutika ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes menyebut hal ini sebagai hermeneutika fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
Untuk itu, jika kita menerima hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutika fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-the-world) (Eagleton).
Dalam hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia adalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutika fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks (Valdes). Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasarnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab (Valdes).
Selain itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemahaman―khususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra―adalah gagasan "lingkaran hermeneutika" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan perkataan lain, untuk memahami suatu objek, pembaca harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman yang dicapai pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Adapun simpulan yang kami dapatkan yaitu :
1. Hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika merupakan metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke masa depan.
2. Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.  Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.
3. Hermeneutika dalam pandangan filosofi antara lain menurut Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidgger, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dam Jacques Derrida.
4.  Beberapa kaidah hermeunitik yaitu : dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi; setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari adanya akibat ikutan dari partisipasi dan latar belakang penafsir; upaya penafsiran harus dilihat sebagai proses pendekatan–approximation kepada makna sejati; walaupun ada wilayah perbedaan karena partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang mempertemukan antar penafsir, pamahaman.
5. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama megenai tiga varian hermeneu-tika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.
6.  Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Hermeneutika dalam Puisi, (Online), (http://skripsikonsultasi.blogspot .com/-2011/03/hermeneutika-dalam-puisi.html, diakses pada 18 November 2011)
Anonim. Hermeneutik, (Online), (http://herueksis.blogspot.com/2008/04/hermeneutik.-html, diakses pada 18 November 2011)
Anonim. Hermeneutik, (Online), (www.angelfirecom/journal/fsulimelight/hermen.html, diakses pada 18 November 2011)
Anonim. Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra, (Online), (http://filsafat.kompasiana-.com/2011/06/20/teori-hermeneutik-dalam-karya-sastra/, diakses pada 18 November 2011)
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.