Sabtu, 10 Desember 2011

Pendekatan Hermeneutik

MATA KULIAH KAJIAN PROSA
PENDEKATAN HERMENEUTIK
Dosen Pengampu : Dra. Sesilia Seli, M.Pd.
DISUSUN OLEH :
AULIA MELANI                             F11110023
HANIZAR KUNTARTI                  F11108028
MEIZAR ANGGARA                     F11109049
NUR RAHMAWATI                       F11110005
NURUL WAHYUNI                         F11110015
SUGIYONO                                      F11110055
KELAS: III A
KELOMPOK VI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hermeneutika, baik sebagai ilmu maupun sebagai metode, memegang peranan yang sangat penting dalam filsafat. Dalam sastra, pembicaraannya terbatas sebagai metode. Di antara metode-metode yang lain, hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra. Hermeneutika dianggap sebagai metode ilmiah yang paling tua, sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles (Ratna, 2004:44-45).
Visi sastra modern menyebutkan bahwa dalam karya sastra terkandung ruang-ruang kosong, di tempat itulah pembaca memberikan berbagai penafsiran. Makin besar sebuah karya sastra, maka semakin banyak mengandung ruang-ruang kosong, sehingga semakin banyak investasi penafsiran yang dapat ditanamkan di dalamnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami mencoba mengidentifikasi masalah ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut.
a. Apa pengertian hermeneutik ?
b. Bagaimana cara kerja hermeneutik ?
c. Bagaimana hermeneutika dalam pandangan filosofi ?
d. Paparkan beberapa kaidah hermeneutika !
e. Sebutkan jenis-jenis hermeneutika !
f. Bagaimana hubungan antara hermeneutika dan interpretasi sastra ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Pendeskripsian pengertian hermeneutik.
b. Pendeskripsian cara kerja hermeneutik.
c. Pendeskripsian hermeneutika dalam pandangan filosofi.
d. Pendeskripsian beberapa kaidah hermeneutika.
e. Pendeskripsian jenis-jenis hermeneutika.
f. Pendeskripsian hubungan antara hermeneutika dan interpretasi sastra.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Hermeneutik berasal dari kata Yunani hermeneutine dan  hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan dan “ penafsiran”.  Istilah  ini didapat dari sebuah risalah yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Tiga makna hermeneutis yang mendasar yaitu :
a).    Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian.
b).    Menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti.
c).    Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain.
Tiga  pengertian tersebut terangkum dalam pengertian ”menafsirkan”– interpreting, understanding. Attew (1984:123) mengatakan bahwa hermeneutik adalah keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Palmer mendefinisikan hermeneutik sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, sehingga yang menjadi tugas pokok hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik menjadi milik kita yang hidup di jaman dan tempat yang berbeda. Bagi  Friedrich August Wolf  hermeneutik merupakan kaidah-kaidah untuk menangkap pemikiran yang terdapat dalam teks yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang. Dalam hal ini, hermeneutik lebih dipandang sebagai kaidah interpretasi dialog dengan pengarang. Sedangkan Menurut Carl Braathen hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika merupakan metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke masa depan.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal  sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks dan kontekstualisasi.
Dengan demikian setidaknya terdapat tiga pemahaman mengenai hermeneutika, yakni :
1.      Sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran, dekat dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami.
2.      Sebagai sebuah metode penafsiran, tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks.
3.      Sebagai penafsiran fisafat.

2.2  Cara Kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.  Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.
Hukum Betti tentang interpretasi Sensus non est inferendus sed efferendus” makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir. Pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki.

2.2.1        Bahasa Sebagai Pusat Kajian
Karena objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praktis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat. Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian disusul bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur.


2.3  Hermeneutika dalam Pandangan Filosofi
2.3.1        Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher
Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan menganggap semua teks dapat menjadi objek kajian hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Makna bukan sekadar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkapkan sebuah realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan rapat-rapat. Schleiermacher menawarkan sebuah metode rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan, membahas dengan bahasa secara keseluruhan.
Tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri. Model hermeneutika Schleiermacher meliputi dua hal :
a.       Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang sehingga menggunakan pendekatan linguistik.
b.      Penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin pengarang.
Dengan demikian, terdapat makna autentik dari sebuah teks, sebuah teks tidak mungkin bertujuan  (telos).

2.3.2        Wilhelm Dilthey
Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, makna tidak pernah berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.
2.3.3        Martin Heidgger
Pemikiran filsafat Heidgger meliputi dua periode sebagai berikut :
a.       Periode 1 meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Manusia adalah satu-satunya makhluk  yang menanyakan tentang “ada”. Sebab, manusia pada hakikatnya ”ada” tetapi tidak begitu saja ada, melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.
b.      Periode 2 Menjelaskan pengertian ”kehre” yang berarti “pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian asli. Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena itu, manusia bukanlah penguasa atas apa yang  ”ada”  melainkan sebagai penjaga padanya.
Bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Bahas pada hakikatnya adalah ”bahasa hakikat”, artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respons dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka.  Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada fakta atau perbuatan. Bahasa adalah tempat tinggal  ”sang ada”.  Bahasa merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi semacam substansi dan pengalaman menjadi tak bermakna jika tidak menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang kosong tanpa kehidupan.
Pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa. Bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika, atau suatu gerakan.

2.3.4        Hans-Georg Gadamer
Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran hermeneutika– hermeneutic circle, bagian teks bisa dipahami lewat keseluruhan teks hanya bisa dipahami lewat bagian-bagiannya.
Setiap pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialetik dan peristiwa kabahasaan. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomologi pemahaman.

2.3.5        Jurgen Habermas
Hermeneutika bertujuan untuk memahami proses pemahaman– understanding the process of understanding. Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu. Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan. Bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.

2.3.6        Paul Ricoeur
Teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks ada tiga macam sebagai berikut :
a.       Intensi atau maksud pengarang.
b.      Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks.
c.       Untuk siapa teks dimaksud.
Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupun orang lain. Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai tujuannya jika ”dunia teks” dan ”dunia interpreter” telah berbaur menjadi satu.

2.3.7        Jacques Derrida
Dalam filsafat bahasa–dalam kaitan dengan hermeneutika, membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat arbitrer.  Bahasa menurut kodratnya adalah ”tulis”. Objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”. Segala sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada makna yang melebihi teks. Makna senantiasa tertentu dalam teks.
     
2.4  Beberapa Kaidah Hermeneutika
Beberapa kaidah hermeunitik yaitu sebagai berikut.
a.       Dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi.
b.      Setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari adanya akibat ikutan dari partisipasi dan latar belakang penafsir.
c.       Upaya penafsiran harus dilihat sebagai proses pendekatan–approximation kepada makna sejati.
d.      Walaupun ada wilayah perbedaan karena partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang mempertemukan antar penafsir, pamahaman bersama–shared understanding, mutual understanding yang melahirkan cross cutting affiiation.

2.5  Jenis-jenis Hermeneutika
     Lefevere memandang bahwa ada tiga varian hermeneutika yang pokok. Dari ketiga varian tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya, yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas berbagai tulisan hermeneutika. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan khusus turut membuat hermeneutika membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan substansi hermeneutika yang sesungguhnya sangat bernilai.
a.      Hermeneutika Tradisional
Refleksi kritis mengenai hermeneutika mula-mula dirintis oleh Friedrich Schleiermacher, kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Hermeneutika yang mereka kembangkan kemudian dikenal dengan "hermeneutika tradisional" atau "romantik". Mereka berpandangan, proses versetehen mental melalui suatu pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu (Lefevere). Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada "pemahaman pengalaman pengarang" atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada "ekspresi kehidupan batin" atau makna peristiwa-peristiwa sejarah. Apabila dicermati, keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif. Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes  yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.
Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis (geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena menurut Eagleton "dunia" karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek.
Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara pengamat dan penafsir (pembaca) tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian, teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan. Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang diungkapkan.
Kelemahan yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya "menghidupkan kembali" (mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya. Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra.
b.      Hermeneutika Dialektik
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa.
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampaknya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa "penjelasan" dan pemahaman" dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal ini dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan). Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48). Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan. Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut―yang tidak mempertentangkan "penjelasan" dengan "pemahaman"―sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting "penjelasan" dan "pemahaman" untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59).
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen  pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri.
c.     Hermeneutika Ontologis
Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagi metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.
Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan masalah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendati pun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih mementingkan "rekreasi". Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan "reproduktif".

2.6 Hermeneutika dan Interpretasi Sastra
Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama mengenai tiga varian hermeneutika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.
Selama ini, hermeneutika merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak dari interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere hermeneutika tidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia. Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutika mau diterapkan dalam sastra, mengingat objek studi sastra itu adalah karya estetik.
Dalam perkembangan teori-teori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutika ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes menyebut hal ini sebagai hermeneutika fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
Untuk itu, jika kita menerima hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutika fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-the-world) (Eagleton).
Dalam hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia adalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutika fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks (Valdes). Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasarnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab (Valdes).
Selain itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemahaman―khususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra―adalah gagasan "lingkaran hermeneutika" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan perkataan lain, untuk memahami suatu objek, pembaca harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman yang dicapai pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Adapun simpulan yang kami dapatkan yaitu :
1. Hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika merupakan metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke masa depan.
2. Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.  Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.
3. Hermeneutika dalam pandangan filosofi antara lain menurut Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidgger, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dam Jacques Derrida.
4.  Beberapa kaidah hermeunitik yaitu : dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi; setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari adanya akibat ikutan dari partisipasi dan latar belakang penafsir; upaya penafsiran harus dilihat sebagai proses pendekatan–approximation kepada makna sejati; walaupun ada wilayah perbedaan karena partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang mempertemukan antar penafsir, pamahaman.
5. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama megenai tiga varian hermeneu-tika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.
6.  Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Hermeneutika dalam Puisi, (Online), (http://skripsikonsultasi.blogspot .com/-2011/03/hermeneutika-dalam-puisi.html, diakses pada 18 November 2011)
Anonim. Hermeneutik, (Online), (http://herueksis.blogspot.com/2008/04/hermeneutik.-html, diakses pada 18 November 2011)
Anonim. Hermeneutik, (Online), (www.angelfirecom/journal/fsulimelight/hermen.html, diakses pada 18 November 2011)
Anonim. Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra, (Online), (http://filsafat.kompasiana-.com/2011/06/20/teori-hermeneutik-dalam-karya-sastra/, diakses pada 18 November 2011)
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.







Jumat, 25 November 2011

Penjelasan Mengenai UU No.14 Tahun 2005 tentang UU Bahasa

Mata Kuliah         : Profesi Kependidikan Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Drs. Sukamto, M.Pd.

Penjelasan UU No. 14 Tahun 2005 tentang UU Bahasa

Bab 1
pasal 1 ayat 2

Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penjelasan :
Bahasa resmi nasional : semua kegiatan dilakukan oleh seluruh warga negara Indonesia menggunakan bahasa nasional

Pasal 1 ayat 6

Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penjelasan :
Bahasa daerah : bahasa yang digunakan sekelompok masyarakat tertentu.

Namun pada kenyataannya bahasa daerah tidak digunakan secara turun-temurun.  Bahasa China digunakan dalam bahasa daerah. Maka akan ada kemungkinan bahasa China menjadi satu diantara bahasa daerah di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari segi budaya, misalnya budaya naga yang ada pada masyarakat China dengan masyarakat Jawa. Hanya saja masyarakat China menunjukkan wujud naga, sedangkan masyarakat Jawa hanya dalam bentuk konsep.

Pasal 1 ayat 7

Bahasa asing adalah bahasa selain Bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Penjelasan :
Jadi, bahasa asing tidak sama dengan bahasa daerah.
Pasal 3

Pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan bertujuan untuk:
a. memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

     Penjelasan :
Menjunjung bahasa persatuan, maksudnya adalah memperkuat persatuan. Dengan bisa bersatu maka akan membentuk kesatuan.
Soekarno berkata “ Jika rakyat Indonesia tahu bahasa Melayu, maka kemerdekaan akan cepat tercapai.” Karena pada dasarnya bahasa Melayu pada zaman dulu merupakan bahasa yang digunakan masyarakat perairan di wilayah Indonesia. 
Dikatakan negara “kesatuan”, karena terdiri atas gabungan kerajaan-kerajaan di seluruh Indonesia. Karena diikat dari kata “kesatuan”, maka kerajaan tidak bisa memerdekaan diri.

b. menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    
     Penjelasan :
Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka sebagai warga negara Indonesia telah menjaga kehormatan bahasa Indonesia. Siapapun yang tidak menggunakan bahasa Indonesia yang benar maka ia kurang menjaga kehormatan.

c. menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

Penjelasan :
Kita harus menjadi contoh dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Bab 3

Pasal 25 ayat 1
Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.

Penjelasan :
Merujuk pada UUD 1945. Tidak ada kekonsistenan antara UU Bahasa dengan UUD 1945. Pada UU bahasa, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional. Sedangkan pada UUD 1945, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara.

Pasal 25 ayat 2

Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Penjelasan :
Sebagai jati diri bangsa, maksudnya yaitu menjadi identitas suatu bangsa. Identitas ini merupakan ciri / tanda yang membedakan diri dari bangsa lain. Maka diusahakan setiap orang bangga menggunakan bahasa Indonesia, karena menimbulkan semangat nasionalisme.  

Pasal 25 ayat 3

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Penjelasan :
Kegiatan organisasi formal di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia, kecuali organisasi independen yang bertempat di negara lain. Bahasa pengantar pendidikan menggunakan bahasa Indonesia. Kasus yang terjadi adalah masih adanya pendidik yang menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar pendidikan. Ini merupakan kasus independen dari pendidik itu sendiri. Seharusnya seorang pendidik harus melatih diri dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan. Semua catatan-catatan perdagangan harus menggunakan bahasa Indonesia. Semua penggunaan media massa dan media cetak menggunakan bahasa Indonesia.


Kamis, 24 November 2011

Pendekatan Struktural

Mata Kuliah              : Kajian Prosa
Dosen Pengampu      : Dra. Sesilia Seli, M.Pd.
Hari, tanggal              : Rabu, 23 November 2011
Penyaji                      : 1. Aan Sutrisno ( F11110009 )
                                   2. Fur Shintari ( F11110001 )
                                   3. Dina Apriana ( F11110027 )
                                   4. Oni Sumiati ( F11110031 )


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan objektif terhadap unsur-unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut (Damono, 1984:2 dalam. Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra(Satoto, 1993: 32) Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Jadi simpulannya bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
            Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi.  Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara keseluruhannya. Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema, latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).
            Analisis karya sastra dengan pendekatan strukturalisme memiliki berbagai kelebihan, diantaranya yakni,  pendekatan struktural memberi peluang untuk melakukan telaah atau kajian sastra secara lebih rinci dan lebih mendalam, pendekatan ini mencoba melihat sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya, memberi umpan balik kepada penulis sehingga dapat mendorong penulis untuk menulis secara lebih berhati-hati dan teliti (Semi, 1993: 70).

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari struktural murni, struktural genetik, dan struktural dinamik ?
2.      Bagaimana penerapan karya sastra dalam pendekatan struktural murni, struktural genetik, dan struktural dinamik ?
3.      Apa manfaat dari  pendekatan struktural murni, struktural genetik, dan struktural dinamik ?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari struktural murni, struktural genetik, dan struktural dinamik.
2.      Mengetahui penerapan karya sastra dalam pendekatan struktural murni, struktural genetik, dan struktural dinamik.
3.      Mengetahui pendekatan struktural murni, struktural genetik, dan struktural dinamik

BAB II
PENDEKATAN STRUKTURAL

2.1    Strukturalisme Murni
Historitas teori strukturalisme murni dalam ilmu sastra lahir dan berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui tardisi-tradisi formalisme sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalisme. Di suatu pihak para pelopor formalisme sebagian besar ikut andil dalam mendirikan strukturalisme, di lain pihak atas dasar pengalaman formalismelah mereka mendirikan strukturalisme dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang terdapat dalam formalisme di perbaiki kembali oleh strukturalisme oleh karena itulah Mukarosvky seorang tokoh formalis Rusia berpendapat bahwa strukturalisme yang mulai diperkenalkan pada tahun 1934 tidak menggunakan nama metode ataupun teori sebab teori merupakan bidang ilmu pengetahuan tertentu sedangkan metode merupakan prosedur imiah yang relaif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terpaku dan terbatas sebagai sudut pandang epestimologi saja, sebagi sistem tertentu dengan mekanisme antarhubungan. Oleh sebab itu Robert Schools (1977 dalam http://ukonpurkonudin.blogspot.com/2010/04/perbandingan-teori-strukturalisme-murni.html) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berfikir, sebagai metode dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuaan. Jadi bisa dikatakan bahwa strukturalisme mulai dengan lahirannya ketidakpuasan dan berbagai kritik terhadap formalisme.
Pendekatan strukturalisme murni biasa disebt juga dengan pendekatan objektif yakni pendekatan penelitiaan sastra yang mendasarkan pada karya sastra tersebut. Secara keseluruhan (otonom). Pendekatannya dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku, konvensi tersebut adalah aspek-aspek instriktik karya sastra yang meliputi didalamnya kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Yang jelas penilaian yang diberikan diihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan keharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya tadi.
Satu  konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk., 1985:6). Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula efeknya pada pembaca (Beardsley via Teuw, 1983:60 dalam Pradopo dkk., 2001:54). Jadi, yang penting hanya close reading, pembacaan secara mikroskopi dari karya sebagai penciptaan bahasa.
Menurut Hawks (1978:17-18 dalam Pradopo dkk., 2001:54-55) strukturalisme adalah:
a.    Cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi struktur.
b.    Pada hakikatnya dunia ini tersusun dari hubungan-hubungan dari benda-benda itu sendiri.
c.    Setiap unsur tidak memiliki makna sendiri-sendiri, kecuali dalam hubungannya dengan unsur lain sesuai dengan posisisnya di dalam, keseluruhan struktur.
d.   Struktur merupakan sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah unsur yang diantaranya tidak satupun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahandalam semua unsur lain.
Menurut Jeans Piaget dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan pokok, yaitu:
a.       Gagasan keseluruhan (wholeness); bagian-bagian atau anasirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
b.      Gagasan transformasi/perpindahan (transformation); struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerusmemungkinkan pembentukan bahan-bahan baru.
c.       Gagasan mandiri (self regulation); tidak membutuhkan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya.
Dari konsep dasar di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam rangka studi sastra strukturalisme menolak campur tangan pihak luar. Jadi, memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur atau anasir yang membangun struktur.

2.1.2 Penerapan Pendekatan Stukturalisme Murni
Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam bidang puisi (Jefferson, 1982:84) Dalam lingkup puisi , Pradopo (2000: 14) menguraikan bahwa karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Mengacu pendapat Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, Rene Wellek dalam Pradopo (2000:14) menguraikan norma-norma itu , yaitu:
a.       lapis bunyi  (sound stratum), misalnya bunyi suara dalam kata,frase, dan kalimat,
b.      lapis arti (units of meaning), misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat,
c.       lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang.
Selanjutnya Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi (1) lapis dunia, dan (2) lapis metafisis.
Dalam lingkup karya fiksi, Stanton (1965: 11-36 dalam Pradopo dkk., 2001:56) mendeskripsikan unsur-unsur karya sastra sebagai berikut:
a.       tema;
b.      fakta cerita, terdiri atas alur, tokoh, dan latar;
c.       sarana sastra, terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara pemilihan judul.
Jadi, dalam analisis struktural murni, unsur-unsur atau anasir itulah yang dikaji dan diteliti.

2.2    Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik adalah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang anti historis dan kausal. Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman, seorang ahli sastra Perancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Pendekatan ini memasukkan faktor genetik di dalam pemahaman karya sastra. Genetik karya sastra artinya asal-usul karya sastra.faktor yang terkaiat dengan asal-usul karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengondisikan karya sastra saat diciptakan.
Dapat dikatakan bahwa pendekatan strukturalisme genetik memunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi apabial para peneliti sendiri tidak melupakan atau tetap memprtahankan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memerhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.
Menurut Goldman, ada dua macam karya sastra. Pertama, karya sastra pengarang utama, yakni karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Kedua, karya sastra pengarang kelas dua, yakni karya sastra yang sekedar raproduksi segi permukaan realitas sosial dan kesadaran kolektif. Nah, karya sastra yang cocok diteliti dengan kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang pertama, karena, menurut Goldman, di dalam karya tersebut terdapat apa yang disebut dengan “problematik hero” yaitu permasalahan-permasalahan yang berhadapa  n dengan kondisi sosial yang dari sana pengarang berusaha mendapatkan/menentukan suatu nilai tertentu yang diimplementasikannya kedalam karyanya. Mengetahui nilai tersebut berarti menangkap pandangan dunia sang sastrawan.
Adapun penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat dilakukan dengan dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial maupun kajian keseluruhan. Kemudian mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat tertentu. Di samping itu tidak luput juga untuk mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengondisikan karya sastra saat ia diciptakan oleh pengarang. Dan akhir dari kegiatan ini, adalah berhasil untuk mengungkap pandangan dunia pengarang tersebut.
Secara sederhana penelitian dengan metode strukturalisme genetik dapat diformulasikan sebagai berikut.
a.    Penelitian harus dimulakan pada kajian unsur intrinsik sastra, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhannya.
b.    Mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas kelompok tertentu.
c.    Mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang.
Menurut Laurenson dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman, adapun langkah-langkah penelitian menggunakan pendekatan strukturalisme genetik adalah sebagai berikut:
a.       Penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
b.      Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
c.       Selanjutnya, untuk mencapai solusi atau simpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian simpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general.

2.3    Strukturalisme Dinamik
Pengkajian karya sastra berdasarkan strukturalisme dinamik merupakan pangkajian strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya sastra dipertimbangkan sebgaai sistem tanda. Sebagai suatu tanda karya sastra memunyai dua fungs. Yang pertama adalah otonom, yaitu tidak menunjik di luar dirinya; yang kedua bersifat informasional, yaitu menyampaikan pikiran, perasaan, gagasan. Kedua sifat itu saling berkaiatan. Dengan demikian, sebagai sebuah struktur, karya sastra selalu bersifat dinamis. Dinamika itu pertama-tama diakibatkan oleh pembacaan kreatif oleh pembaca yang dibekali oleh konvensi yang selalu berubah dan pembaca sebagai homo significans, makhluk yang membaca dan mencipta tanda (Culler, 1975:130 dalam Pradopo dkk., 2001:65). Untuk mempertahankan sifat ikonik sastra sebagai tanda, pembaca yang baik akan mempertahankan norma sastra yang dibentuk dari konvensinya. Pada titik ini komunikasi terjadi karena pembaca dan karya sastra diciptakan oleh pengarang berada pada “kompetensi sastra” (Culler, 1975:130 dalam Pradopo dkk., 2001:65) yang sama. Akan tetapi, sifat sarana sastra yang arbiter akan menyebabkan tafsir sastra akan terus berkembang sejalan dengan perubahan atau perkembangan tata nilai dalam masyrakat.
Jika strukturalisme dinamik diterapkan dalam pengkajian sastra, terdapat dua hal yang harus dipertahankan, yaitu:
a.       Peneliti bertugas menjelaskan sebuah sastra sebagai sebuah struktur berdasarkan unsur-unsur atau elemen-elemen yang membentuknya.
b.      Peneliti bertugas menjelaskan kaiatan antara pengarang, realitas, karya sastra dan pembaca.
Kedua hal tersebut memiliki kaitan erat. Di satu pihak oengarang melalui kata-katanya sebagai pembawa makna ke dalam stryktur karya sastra. Di pihak lain pembaca sebagai penfsir atas karya-karya tersebut. Keduanya senantiasa bersumber pada konvensi-konvensi budaya yang telah berlangsung dan terjadi sebagaimana dikandung dalam realitas.
Jadi dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah kajian strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya sastra dikaitkan dengan sistem tanda. Tanda mempunyai dua fungsi: otonom, yakni tidak menunjuk di luar dirinya dan informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan. Adapun penerapannya dapat dilakukan dengan pertama-tama menjelaskan struktur karya sastra yang diteliti. Kemudian menjelaskan kaitan pengarang, realitas, karya sastra dan pembaca.

BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
       Dalam pendekatan strukrural dibedakan menjadi tiga yaitu pendekatan strukturalisme murni ,pendekatan strukturalisme genetik,dan pendekatan strukturalisme dinamik.
       Historitas teori strukturalisme murni dalam ilmu sastra lahir dan berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui tardisi-tradisi formalisme sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalisme.
       Pendekatan srukturalisme genetik memunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi ,apabila para peneliti  sendiri tidak melupakan atau  tetap memperhatikan  segi-segi intrinsik  yang membangun karya sastra , disamping memperhatikan faktor-faktor  sosiologis , serta menyadari sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan  faktor imajinasi.
       Jika strukturalisme dinamik diterapkan  dalam pengkajian  satra, terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu, peneliti bertugas menjelaskan karya sastra sebagai  sebuah struktur berdasarkan  unsur-unsur atau elemen-elemen yang membentuknya dan peneliti  bertugas menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca. Di satu pihak pengarang melalui kata-katanya sebagai pembawa makna ke dalam struktur karya sastra. Di pihak lain, pembaca sebagai penafsir atas makna – makna tersebut. Keduanya senantiasa bersumber pada konvensi- konvensi budaya yang telah berlangsung dan terjadi sebagaimana dikandung dalam realitas.