Senin, 01 April 2013

ANALISIS STRUKTURALISME DAN FUNGSI CERITA RAKYAT LELA BUJANG MALAKA KABUPATEN SANGGAU


TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH SASTRA DAERAH
ANALISIS STRUKTURALISME DAN FUNGSI CERITA RAKYAT LELA BUJANG MALAKA KABUPATEN SANGGAU

Dosen Pengampu: Dr. A. Totok Priyadi, M.Pd.



Disusun oleh:

AULIA MELANI              (F11110023)
BERNADETA                   (F11110045)
GRACIA GANESHA       (F11110003)
LIDIA WATI                     (F11110049)
                                               
                                                                                

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar  Belakang
Sejak zaman dahulu kebudayaan bertutur atau bercerita telah berkembang di Indonesia. Kebudayaan bertutur atau bercerita itu masih dilestarikan sampai sekarang. Bertutur atau bercerita biasanya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya sebagai pengantar tidur. Cerita yang disampaikan bermacam-macam jenisnya, di antaranya dongeng, mite atau mitos, legenda, dan sebagainya. Berbagai bentuk cerita  tersebut populer dinamakan dengan cerita rakyat.
Cerita rakyat merupakan  sastra daerah yang berkembang di masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Disebut cerita rakyat karena cerita tersebut memang bersumber dari rakyat dan berkembang di masyarakat. Cerita rakyat disajikan dalam bentuk lisan atau dari mulut ke mulut. Cerita rakyat disampaikan secara turun-temurun, bisa secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, cerita rakyat disampaikan dari garis keluarga yang paling atas kemudian menurun ke bawah sesuai tingkatannya, misalnya dari nenek kepada ibu kemudian ibu menceritakan lagi kepada anaknya. Adapun secara vertikal, cerita rakyat disampaikan tidak menurut garis keturunan, bisa saja dari teman ke teman atau dari tetua adat kepada masyarakatnya. 
Penelitian terhadap cerita rakyat sangat penting dilakukan terutama untuk melestarikan cerita rakyat tersebut. Sangat ironis karena banyak anak muda sekarang yang tidak peduli lagi dengan kebudayaan bangsanya berupa cerita rakyat. Padahal, jika dianalisis lebih lanjut cerita rakyat memiliki keunikan tersendiri dan merupakan sarana untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Selain itu, dengan melakukan penelitian serta analisis terhadap cerita rakyat, kita dapat mengetahui struktur serta fungsi dari cerita rakyat tersebut. Bahan yang kami jadikan analisis yaitu cerita rakyat Lela Bujang Malaka.



B.            Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut.
1.             Bagaimana analisis strukturalisme terhadap cerita rakyat Lela Bujang Malaka?
2.             Bagaimana analisis fungsi cerita rakyat Lela Bujang Malaka?

C.           Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini sebagai berikut.
1.             Pendeskripsian analisis strukturalisme terhadap cerita rakyat Lela Bujang Malaka.
2.             Pendeskripsian analisis fungsi cerita rakyat Lela Bujang Malaka.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Analisis Strukturalisme terhadap Cerita Rakyat Lela Bujang Malaka
Cerita rakyat Lela Bujang Malaka merupakan satu di antara cerita rakyat yang populer di kabupaten Sanggau. Cerita ini dapat dikategorikan sebagai legenda karena sampai sekarang bukti-bukti mengenai cerita ini dapat dirasakan dan dilihat. Akan tetapi, hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat Lela Bujang Malaka karena bersifat gaib. Cerita ini berkembang ketika kerajaan Sanggau baru berdiri. Sampai sekarang cerita ini tetap dilestarikan secara turun-temurun.
Cerita Lela Bujang Malaka menceritakan kisah sebuah senjata berbentuk meriam kecil yang diberi nama Lela Bujang Malaka oleh masyarakat Sanggau. Senjata ini berasal dari kerajaan Malaka. Pada saat itu terjadi konflik antara dua bersaudara yang memperebutkan sebuah kerajaan. Sang raja, ayah kedua bersaudara itu, ingin membagi rata kerajaannya kepada kedua anaknya. Akan tetapi, si kakak tidak setuju karena ingin memiliki kerajaan itu sendiri. Akhirnya, si kakak memerangi adiknya sehingga banyak pengikut adiknya yang tewas. Si adik ternyata memiliki budi bahasa yang baik dan disenangi oleh rakyat di kerajaan Malaka tersebut. Demi keselamatan dirinya dan para pengikutnya, akhirnya rombongan si adik melarikan diri dengan menggunakan kapal layar. Rombongan tersebut pada akhirnya singgah di Sanggau (pada saat itu Sanggau masih berupa hutan) dan menetap di pedalaman Sungai Sekayam. Tidak lama kemudian kerajaan Sanggau pun berdiri di tanah Mengkiang. Rombongan dari kerajaan Malaka kemudian menyerahkan semua senjata yang mereka bawa termasuk Lela Bujang Malaka kepada kerajaan Sanggau. Tidak lama setelah kerajaan Sanggau berdiri, terdapatlah informasi bahwa kerajaan Pontianak akan menyerang kerajaan Sanggau. Untuk mengantisipasi hal tersebut, raja Sanggau beserta para hulubalang dan senopati mengumumkan kepada rakyat Sanggau untuk membuat benteng di daerah Pancur Aji. Maka digunakanlah meriam kecil yang diberi nama Lela Bujang Malaka untuk membuat benteng. Lela Bujang Malaka ditanam di Pancur Aji tetapi tidak menggunakan peluru sehingga hanya bunyinya saja yang menggelegar menakutkan. Selain itu, seutas rantai juga direntangkan di dalam air antara Pancur Aji dan Tanjung Kerosik. Tujuannya, jika perahu musuh lewat maka rantai akan ditarik sehingga perahu musuh akan terbalik. Setelah benteng siap dibangun maka ditunggulah kedatangan musuh dari Pontianak. Cukup lama menunggu ternyata tidak ada musuh yang datang menyerang. Hal itu terjadi karena pada masa dahulu komunikasi sangat kurang sehingga informasi yang diperoleh pun kurang. Karena tidak terjadi peperangan akhirnya rakyat Sanggau membuat suatu peranguh(istilah/pepatah) dalam bentuk pantun yang berbunyi.
Ensait tumuh begolik
Tumuh begolik di belakang kuta
Bujang Syarif mudik bebalik
Takut ke Lela Bujang Malaka

Berdasarkan pendekatan strukturalisme, yang dianalisis dari cerita rakyat tersebut adalah struktur/isi atau unsur-unsur  yang terdapat cerita rakyat tersebut. Sebagaimana pendapat Teeuw (dalam Wuradji, dkk, 2001:54) strukturalisme adalah cara berpikir atau paham mengenai unsur-unsur yaitu unsur itu sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, hubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, dan hubungan antar unsur dengan totalitasnya yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Ketika menganalisis karya sastra peneliti harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan strukturalisme merupakan sebuah pendekatan yang menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur intrinsik atau unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam yang meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur atau plot, latar, dan sudut pandang.
Berdasarkan pendekatan strukturalisme, tema yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah harga diri. Tema cerita ini tercermin pada usaha penyelamatan diri oleh si adik beserta para pengikutnya agar terhindar dari kezaliman si kakak. Penyelamatan diri yang dilakukan oleh si adik  beserta para pengikutnya merupakan usaha untuk mempertahankan harga diri agar tidak dizalimi oleh si kakak. Selain itu, tema cerita ini juga tercermin melalui usaha yang dilakukan oleh raja Sanggau beserta rakyat Sanggau untuk mempertahankan kerajaan Sanggau dari serangan kerajaan Pontianak. Usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kerajaan Sanggau yakni dengan cara mendirikan benteng di daerah Pancur Aji. Benteng tersebut diperkuat oleh Lela Bujang Malaka dan seutas rantai. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh raja Sanggau beserta rakyatnya merupakan suatu usaha untuk mempertahankan harga diri kerajaan Sanggau agar tidak diremehkan, direndahkan, dan dengan mudah diserang oleh kerajaan Pontianak. Raja Sanggau beserta rakyat Sanggau tidak mau harga dirinya dipandang rendah oleh kerajaan Pontianak. Oleh sebab itu, sebisa mungkin mereka membangun benteng yang kuat untuk menunjukkan pada kerajaan Pontianak bahwa kerajaan Sanggau tidak lemah dan mudah diperdaya.
Adapun tokoh yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu sang raja Malaka, kedua anak raja Malaka (si kakak dan si adik), para pengikut si adik, raja Sanggau, senopati dan hulubalang kerajaan Sanggau, serta rakyat Sanggau. Berdasarkan penokohan atau watak, dapat disimpulkan bahwa tokoh raja Malaka, si adik, raja Sanggau beserta hulubalang, senopati dan rakyat Sanggau merupakan tokoh yang berwatak protagonis atau baik. Sementara si kakak yang telah memerangi adiknya sendiri demi kekuasaan merupakan tokoh berwatak antagonis atau jahat.
Alur atau plot yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah alur maju atau progresif. Hal itu dapat dilihat pada runtutan cerita yang diceritakan, mulai dari awal sampai akhir merupakan suatu peristiwa yang bersifat kronologis. Pertama-tama diceritakan tentang konflik di kerajaan Malaka yang akhirnya membawa rombongan si adik menuju tanah Sanggau hingga kerajaan Sanggau berdiri. Kemudian, kerajaan Sanggau membangun benteng di daerah Pancur Aji untuk mempertahankan diri jika diserang oleh kerajaan Pontianak. Peristiwa yang dilukiskan dalam cerita tersebut merupakan peristiwa yang berlangsung secara runtut dan sistematis.
Adapun latar tempat yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu kerajaan Malaka (di negeri Malaka), Batu Ampar (Pontianak), sungai Kubu dan sungai Kapuas, Pulau Jambo (Labai Lawai/Tayan), kerajaan Sanggau (di negeri Sanggau), sungai Sekayam, tanah Mengkiang, Pancur Aji, dan Tanjung Kerosik. Adapun latar suasana yang dilukiskan dalam cerita tersebut, yaitu sedih, marah, ketakutan, mengerikan, cemas, ketegasan, kelegaan, dan kegembiraan. Suasana sedih, amarah, ketakutan, dan mengerikan, dilukiskan ketika si kakak diliputi kemarahan ingin memerangi si adik untuk mendapatkan semua kerajaan. Si kakak dengan teganya memerangi adiknya sendiri hingga banyak orang yang tewas akibat ulah si kakak. Suasana seperti itu juga terlukis ketika si adik beserta para pengikutnya melarikan diri dan akhirnya menetap di Sanggau. Adapun suasana cemas, ketegasan, kelegaan, dan kegembiraan dilukiskan ketika terdapat informasi bahwa kerajaan Pontianak akan menyerang kerajaan Sanggau hingga terbukti kerajaan Pontianak tidak berniat untuk menyerang kerajaan Sanggau. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya komunikasi dan informasi. Dalam cerita Lela Bujang Malaka ini tidak diceritakan oleh narasumber latar waktu semua peristiwa yang terjadi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat latar waktu dalam cerita Lela Bujang Malaka.
Adapun sudut pandang yang digunakan dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah sudut pandang orang ketiga.  Sudut pandang ini dilihat dari penceritaan sastra itu sendiri. Dalam cerita rakyat ini pengarang memakai nama-nama orang dan dia (orang ketiga).

B.            Analisis Fungsi Cerita Rakyat Lela Bujang Malaka
Analisis fungsi merupakan suatu analisis untuk mengetahui fungsi atau manfaat dari karya sastra. Berdasarkan analisis fungsi, dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat Lela Bujang Malaka memiliki beberapa fungsi di antaranya.
1.             Sebagai Pengantar Tidur
Umumnya suatu cerita atau dongeng yang disajikan secara lisan berfungsi sebagai pengantar tidur bagi yang didongengkan. Begitu juga dengan cerita Lela Bujang Malaka. Orang tua sering mendongengkan cerita Lela Bujang Malaka kepada anaknya ketika menjelang tidur agar si anak tertidur pulas. Selain itu,  zaman dahulu belum ada hiburan lain yang dapat berfungsi sebagai pengantar tidur si anak.

2.             Sebagai Hiburan
Cerita Lela Bujang Malaka juga berfungsi sebagai hiburan bagi yang mendengarkan. Cerita ini populer di kabupaten Sanggau ketika belum ada listrik dan alat-alat teknologi di sana. Jadi, sebagai penghibur dan mengisi waktu luang, orang tua sering mendongengkan cerita ini kepada anaknya.

3.             Sebagai Sarana Menanamkan Nilai-Nilai Kehidupan
Cerita merupakan sarana bagi orang tua untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan kepada anaknya. Selain anak merasa tertarik mendengarkan suatu cerita, anak juga mendapat pengetahuan berupa nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Setelah bercerita sebaiknya orang tua menjelaskan mana yang baik, yang patut ditiru dan mana hal-hal buruk yang tidak patut ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai tindak kenakalan dapat dikurangi dengan menanamkan perilaku dan sifat yang baik melalui contoh karakter ataupun sifat-sifat perilaku di dalam cerita. Selain itu, bertutur atau mendongeng memiliki efek yang lebih baik daripada mengatur anak dengan cara kekerasan (memukul, mencubit, menjewer, membentak, dan lain-lain. Adapun cerita Lela Bujang Malaka merupakan sarana bagi orang tua di kabupaten Sanggau untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti jangan serakah, tegas dalam memilih sikap, jangan takut menghadapi masalah, pertahankan harga diri, dan sebagainya.

4.             Sebagai Penghilang Rasa Jenuh dan Ketegangan
Rasa jenuh dan ketegangan ketika menjalani aktivitas sehari-hari dapat dihilangkan melalui kegiatan mendengarkan cerita. Terkadang anak merasa bosan dengan rutinitasnya sehari-hari jadi cerita dapat digunakan sebagai penghilang rasa bosan anak. Pada dasarnya, anak sangat senang mendengarkan cerita apalagi orang tuanya sendiri yang menceritakan. Demikian pula dengan cerita Lela Bujang Malaka juga berfungsi sebagai penghilang rasa jenuh atau bosan dan ketegangan.

5.             Sebagai Sarana untuk Mengetahui Peristiwa yang Terjadi di Masa Lampau
Cerita rakyat yang berbentuk legenda diyakini oleh masyarakat benar-benar terjadi karena terdapat bukti yang menguatkan cerita tersebut. Begitu juga dengan cerita Lela Bujang Malaka, yang merupakan sebuah legenda dan diyakini benar-benar terjadi di kabupaten Sanggau. Melalui cerita tersebut, masyarakat Sanggau saat ini dapat mengetahui peristiwa yang terjadi pada masa lampau bahwa zaman dahulu masyarakat Sanggau pernah membuat sebuah benteng di daerah Pancur Aji.

6.              Mengembangkan Daya Imajinasi
Cerita yang dilisankan atau cerita yang disampaikan secara lisan dapat membuat anak berimajinasi membayangkan bagaimana jalan cerita dan karakternya. Anak-anak akan terbiasa berimajinasi memvisualkan sesuatu di dalam pikirannya untuk menjabarkan atau menyelesaikan suatu permasalahan. Cerita Lela Bujang Malaka ini dapat membuat anak berimajinasi membayangkan suasana pada zaman dahulu di kabupaten Sanggau, seputar peristiwa serta tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut.

7.             Menambah Wawasan
Anak-anak yang terbiasa mendengar cerita dari orang tuanya (penutur) biasanya akan bertambah perbendaharaan kata, ungkapan, watak orang, sejarah, sifat baik, sifat buruk, teknik bercerita, dan lain sebagainya. Jadi, cerita Lela Bujang Malaka yang diceritakan kepada anak berfungsi untuk menambah wawasan anak berupa perbendaharaan kata, ungkapan, karakter orang, dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
1.             Berdasarkan pendekatan strukturalisme terhadap cerita rakyat kabupaten Sanggau Lela Bujang Malaka dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.    Tokoh yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu sang raja Malaka, kedua anak raja Malaka (si kakak dan si adik), para pengikut si adik, raja Sanggau, senopati dan hulubalang kerajaan Sanggau, serta rakyat Sanggau.
b.    Tokoh raja Malaka, si adik, raja Sanggau beserta hulubalang, senopati dan rakyat Sanggau merupakan tokoh yang berwatak protagonis atau baik. Sementara si kakak memiliki watak antagonis atau jahat.
c.    Alur atau plot yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah alur maju atau progresif.
d.   Latar tempat yang terdapat dalam cerita Lela Bujang Malaka, yaitu kerajaan Malaka (di negeri Malaka), Batu Ampar (Pontianak), sungai Kubu dan sungai Kapuas, Pulau Jambo (Labai Lawai/Tayan), kerajaan Sanggau (di negeri Sanggau), sungai Sekayam, tanah Mengkiang, Pancur Aji, dan Tanjung Kerosik. Adapun latar suasana yang dilukiskan dalam cerita tersebut, yaitu sedih, marah, ketakutan, mengerikan, cemas, ketegasan, kelegaan, dan kegembiraan. Sementara latar waktu dalam cerita Lela Bujang Malaka tidak ada.
e.    Sudut pandang yang digunakan dalam cerita Lela Bujang Malaka adalah sudut pandang orang ketiga.
2.             Cerita rakyat kabupaten Sanggau Lela Bujang Malaka memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai berikut.
a.    Sebagai pengantar tidur
b.    Sebagai hiburan
c.    Sebagai sarana menanamkan nilai-nilai kehidupan
d.   Sebagai penghilang rasa jenuh
e.    Sebagai sarana untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di masa lampau
f.      Mengembangkan daya imajinasi
g.    Menambah wawasan

B.            Saran
Sebagai negara yang majemuk, Indonesia tentu saja memiliki beragam cerita rakyat yang berasal dari beragam daerah. Sebagai generasi muda, tugas kitalah yang melestarikan beragam cerita rakyat tersebut agar generasi selanjutnya bisa meneruskan langkah awal pelestarian sastra daerah yang telah dilakukan. Akan lebih baik apabila setiap orang mau berinisiatif mengumpulkan beragam cerita rakyat yang berasal dari daerahnya.

DAFTAR PUSTAKA

M.S, Wuradji, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.

Organisasi.Org Komunitas & Perpustakaan Online Indonesia. 2010. Kegunaan/Fungsi/Manfaat Dongeng Untuk Anak-Anak (Cerita Sebelum Tidur).(Online).(http://organisasi.org/kegunaan-fungsi-manfaat-dongeng-untuk-anak-anak-cerita sebelum-tidur).

 

Syam, Christanto. 2010. Pengantar ke Arah Studi Sastra Daerah. Pontianak: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura.

Z.F, Zulfahnur. Sayuti Kurnia dan Zuniar  Z. Adji. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III Tahun 1996/1997.